
Daya tampung calon siswa SD di Kecamatan Lubuk Baja sebanyak 828 calon siswa yang terbagi dalam 9 Sekolah negeri-Edisi/BBI
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Rapat kerja Komisi X DPR RI tanggal 12 Februari 2025 membahas beberapa dampak efisiensi yang cukup signifikan pada dunia pendidikan. Ini meliputi terancamnya beasiswa KIP-K untuk anak yang kurang mampu, hingga meniadakan penerimaan mahasiswa baru jalur ini di tahun 2025.
Hal tersebut merupakan rentetan dari manuver Presiden Prabowo Subianto yang menerbitkan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2025 yang mengatur efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD sebesar Rp306,69 triliun pada Januari 2025. Ini berdampak pada berbagai operasional dan kinerja kementerian, salah satunya Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) yang terkena pemangkasan anggaran sebesar Rp22,5 triliun dari total pagu anggaran 2025 Rp57,6 triliun. .
Keputusan tersebut membuat saya de javu—merasa apa yang terjadi sekarang, pernah dialami di masa lalu. Sebab, saat masih bekerja di dunia industri, saya berkenalan dengan konsep lean manufacturing—proses produksi yang memaksimalkan produktivitas dan pada saat yang sama meminimalkan pemborosan tanpa pernah mengorbankan kualitas dan sumber daya manusia di dalamnya.
Sayangnya, konsep efisiensi sepertinya dipahami secara keliru oleh pemerintah, terutama dalam konteks makan siang gratis. Efisiensi anggaran justru berimbas pada terancamnya sektor lain yang jauh lebih fundamental seperti pendidikan.
Alhasil, nasib penerima beasiswa BPI LN juga berpotensi telantar di luar negeri termasuk dosen dan tenaga pendidik yang melanjutkan pendidikan di dalam negeri. Dampak buruk pemangkasan anggaran juga akan menurunkan hak akses pendidikan bagi mahasiswa wilayah 3T dan Orang Asli Papua (OAP) karena mengancam beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADiK).
Efek domino juga berlanjut ke persoalan UKT yang terancam naik karena kebutuhan operasional perkuliahan di PTN berkurang pembiayannya. Bahkan, PTS pun juga terdampak karena bantuan kelembagaan.
Belum lagi dana riset yang alokasinya untuk riset sangat kecil, yaitu Rp1.2 triliun dari Rp57 triliun. Dana tersebut selama ini hanya bisa membiayai sekitar 7% dari proposal yang masuk.
Dengan beraneka macam potensi dampak tersebut, sudah seharusnya efisiensi tidak dilakukan dengan mengorbankan pendidikan karena hal tersebut merupakan salah satu core process dalam sebuah negara.
Efisiensi dari sudut padangan transformasi ‘lean’
Persoalan efisiensi ini bisa ditinjau menggunakan konsep transformasi lean yaitu mengurangi waste (limbah) dan memaksimalkan value (nilai) dari produk.. Transformasi lean dalam organisasi dilakukan dengan memegang tiga hal: Purpose (Tujuan), Process (Proses), serta People (Manusia)..
1. Menengok ulang tujuan besar
Pertama, dari segi tujuan, apa masalah dari customer yang harus dipecahkan oleh perusahaan supaya tujuan besarnya tercapai. Dalam konteks ini, customer adalah masyarakat Indonesia, sedangkan perusahaan adalah pemerintah Indonesia.
Tujuan program MBG adalah meningkatkan SDM Indonesia melalui penguatan gizi. Namun, apakah akar permasalahan dari SDM di Indonesia adalah gizi sehingga harus mengorbankan sektor-sektor lain?
Berdasarkan Global Hunger Index (GHI) pada tahun 2024, Indonesia menempati peringkat ke-77 dari 127 negara dengan skor 16.9. Secara status, ini menempatkan Indonesia pada level moderat.
Sementara statistik dari Programme for International Student Assessment (PISA) menilai kemampuan siswa pada kemampuan berhitung, membaca, dan sains, pada tahun 2022 Indonesia mendapat peringkat 69 dari 80 negara yang terdaftar pada penilaian OECD. Bahkan skor Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dari negara-negara dalam daftar OECD.
Belum lagi problematika tenaga kependidikan, guru, dan dosen di Indonesia yang secara gaji sangat rendah, dengan rata-rata Rp5,7 juta, sementara jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Vietnam yang hampir dua kali lipat (setara Rp10,4 juta), Malaysia (setara Rp14,4 juta), Thailand (setara Rp19,3 juta), bahkan kalah jauh dengan Singapura (setara Rp97,8 juta).
Artinya, meskipun perbaikan gizi itu baik. Tapi jika merujuk pada konsep lean, efisiensi seharusnya juga memperhatikan customer’s voice yang lain yaitu perbaikan akses pendidikan dan kesejahteraan guru serta dosen.
2. Pertimbangkan risiko dan kapabilitas
Kedua adalah process, yaitu bagaimana sebuah organisasi mampu memberikan penilaian yang valid, sehingga setiap langkah yang diambil memiliki alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sesuai konsep di lean manufacturing, sebuah organisasi harus bisa memetakan proses untuk memastikan bahwa produk tersampaikan ke customer dengan kualitas yang diinginkan, dan proses pemantauan (monitoring) yang ketat.
Faktanya, efisiensi anggaran yang salah satunya digunakan untuk MBG ini sudah menuai banyak masalah sejak awal. Mulai dari pemotongan anggaran dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 per porsi, perubahan menu susu dan rasa yang hambar, hingga beberapa anak yang alergi makanan tertentu, bahkan keracunan.
Ini menunjukkan bahwa alih-alih membantu masyarakat memperoleh produk dengan kualitas yang diharapkan, efisiensi justru merugikan masyarakat akibat proses yang ala kadarnya.
3. Investasi pada manusia
Ketiga adalah people, atau manusia, yaitu bagaimana organisasi memastikan bahwa setiap proses penting memiliki seseorang untuk melakukan evaluasi berkelanjutan.
Jika ditarik secara lebih makro, konsep ini menunjukkan pentingnya peran sumber daya manusia. Namun, efisiensi anggaran justru berpotensi menurunkan kualitas pendidikan di Indonesia, yang pada akhirnya menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Sebagai ilustrasi, sejak beralih menjadi PTN-BH, ketika subsidi dari pemerintah dikurangi dengan maksimal 30% dari biaya operasional perguruan tinggi, mahasiswa jalur mandiri sudah mencapai 50% (sesuai batas atas regulasi). Ini menunjukkan perguruan tinggi semakin membutuhkan banyak biaya operasional dari mahasiswa. Belum lagi dengan polemik uang kuliah tunggal (UKT) yang tinggi, dan banyak mahasiswa yang sulit mengajukan keringanan .
Dengan kata lain, mahasiswa yang pada akhirnya akan menjadi korban karena beasiswa yang tidak berlanjut, ditiadakan, atau UKT yang semakin mahal.
Jika kembali ke konsep lean, efisiensi anggaran tidak menjadi soal sepanjang tidak mengorbankan proses inti. Pemotongan anggaran ke perguruan tinggi, dalam jangka panjang akan melahirkan efek domino pada sektor-sektor lainnya, seperti kurangnya tenaga kerja terampil (dengan anggaran saat ini saja saat ini 47% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor keterampilan rendah), tidak terwujudnya tujuan dari beasiswa KIP-K untuk melahirkan sarjana pertama di keluarga, gagalnya pemerintah dalam memutus rantai kemiskinan, bahkan brain drain yang menyebabkan banyak orang memilih kabur saja dulu ke negara lain karena di Indonesia kemampuan mereka kurang dihargai.
Menganaktirikan pendidikan demi efisiensi jangka pendek justru dapat merugikan negara dalam jangka panjang, baik secara ekonomi maupun sosial. Dengan menjadikan pendidikan sebagai prioritas, akan lahir SDM-SDM unggul yang mendorong inovasi, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Mushonnifun Faiz Sugihartanto, Assistant Professor, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.