
Suku Laut di Kampung Air Mas, Batam-Edisi/bbi.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Kelompok nomad laut di Indonesia menjadi inspirasi sutradara James Cameron saat membuat film Avatar: The Way of Water. Film itu berkisah tentang kaum Metkayina yang menghadapi ancaman dari “kaum langit” yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam Pandora, tanpa memedulikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Konflik yang terjadi di film itu bukan hanya sekadar fiksi, melainkan benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Bahkan, kondisi aslinya lebih parah.
Singkatnya, nomad laut merupakan kelompok masyarakat yang kehidupannya bergantung penuh kepada ekosistem dan sumber daya kelautan dan pesisir. Ada dua kelompok nomad laut di Indonesia: Sama-Bajau (yang tersebar di 14 provinsi) dan Orang Laut (yang tersebar di lima provinsi).
Kami melakukan riset di beberapa daerah yang terdampak pembangunan pesisir dan eksploitasi laut, seperti Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur sepanjang tahun 2023-2024. Hasilnya, kami mendapati kaum nomad laut tergusur dari ruang hidup mereka. Pindah ke darat juga bukan solusi praktis, karena tidak sesuai dengan identitas mereka dan adanya tekanan pembangunan multidimensi.
Kedua kelompok yang kami jadikan sampel tersebut memiliki tiga pola mukim yakni; 1) mereka yang masih hidup di atas perahu, 2) bermukim di atas laut dan 3) bermukim di daratan pesisir. Saat ini, baik Sama-Bajau atau Orang Laut umumnya sudah hidup menetap.
Semua kelompok masih melihat pesisir dan laut sebagai ‘lahan hidup dan mati, tempat ritual, tempat hiburan, tempat pemersatu dan ‘kebun’. Konsep-konsep, yang mereka ungkapkan pada Temu Raya Sama-Bajau di Luwuk pada Desember 2024 lalu, menunjukkan bahwa pesisir dan laut adalah segalanya bagi masyarakat nomad laut.
Namun dalam dua dekade terakhir, masyarakat nomad laut di pelbagai wilayah menghadapi ancaman penggusuran, konflik sumber daya alam, dan berbagai bentuk marginalisasi lainnya.
Studi kasus berbagai daerah
Di Sulawesi Tenggara terdapat 154 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel berdampak pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil—rumah bagi lebih dari 80.000 jiwa orang Sama-Bajau yang tersebar di 132 perkampungan.
Aktivitas pertambangan nikel di sekitar Pulau Kabaena, misalnya, telah menimbulkan kerusakan parah terhadap lingkungan dan kebudayaan masyarakat Sama-Bajau. Tailing yang dihasilkan mengalir ke laut, merusak terumbu karang, budi daya rumput laut, dan mencemari perairan di sekitar rumah-rumah panggung Sama-Bajau. Akhirnya, area tangkapan ikan tercemar dan mengurangi pendapatan dari tangkapan ikan secara signifikan.
Walhasil, masyarakat terpaksa melaut lebih jauh dan otomatis membuat mereka merogoh kocek lebih dalam untuk bahan bakar. Menumpuknya beban ini pada akhirnya berujung pada meningkatnya utang mereka pada tengkulak ikan.
Survei sosial-ekonomi di perkampungan Sama-Bajau di Pulau Kabaena menunjukkan sebanyak 82% masyarakat melaporkan bahwa pendapatan mereka menurun drastis sejak ada tambang nikel beroperasi di sekitar perkampungan mereka.
Kontak langsung dengan air laut yang tercemar menyebabkan gatal-gatal dan penyakit kulit serius pada masyarakat Sama-Bajau, khususnya anak-anak.
Di Kepulauan Riau, kaum nomad laut juga menghadapi masalah serupa. Tailing tambang pasir mencemari perairan di sekitaran Pulang Lengkok dan Pulau Kojong, wilayah tempat Orang Laut mencari ikan.
Ketika aktivitas kapal besar (tongkang) yang membawa pasir lewat, mereka dilarang memancing di wilayah yang merupakan area tangkap ikan tersebut. Terumbu karang dan wilayah sakral mereka di laut juga rusak. Tambang pasir membuat wilayah pesisir utara Pulau Kojong mulai mengalami abrasi. Menurut Orang Laut, jarak mulut pantai mereka ke laut semakin dekat dan pulau mereka semakin mengecil.
Di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, kaum nomad laut menghadapi tantangan kompleks yang saling terkait antara isu konservasi laut, Illegal Unregulated and Unreported (IUU) Fishing, dan mobilitas lintas negara masyarakat Sama-Bajau (Indonesia, Malaysia, dan Filipina). Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya (KKP3K-KDPS) merupakan wilayah perlindungan laut di bawah otoritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Keberadaan kaum Sama-Bajau yang semi-nomadik (Palau’) tidak diterima karena tidak mempunyai identitas kewarganegaraan. Aktivitas dan pola hidup mereka dianggap ilegal dan merusak sumber daya laut terutama pada zona inti. Pada saat patroli kawasan, masyarakat Palau’ selalu menjadi target untuk inspeksi IUU fishing.
Baca juga: Suku Laut Sudah, Menteri Risma akan Bantu Orang Darat di Rempang
Tidak hanya di tiga provinsi ini, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan rencana pembangunan infrastruktur besar-besaran yang menyasar pulau-pulau kecil memantik kekhawatiran akan kelangsungan hidup masyarakat nomad laut. Hal ini ditemukan pada Orang Laut di Batam. Dalam jangka panjang, praktik pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil eksploitatif ini akan menjadi genosida budaya bagi nomad laut.
Multilevel marginalisasi
Dari studi yang kami lakukan di berbagai wilayah, kami menyimpulkan bahwa kaum nomad laut menghadapi empat tantangan besar.
Pertama, pembangunan dan tambang eksploitatif telah mengurangi akses mereka terhadap sumber daya laut. Kedua, tidak adanya pengakuan hukum membuat mereka sulit mempertahankan hak-haknya. Ketiga, dipinggirkan atau tidak diajak dalam pengambilan keputusan. Keempat, stigmatisasi dan diskriminasi yang ditunjukkan melalui stereotip negatif membuat mereka semakin tersisih dari masyarakat umum.
Semua tantangan ini saling terkait satu sama lain. Misalnya pengurangan akses terhadap sumber daya laut mendorong masyarakat nomad laut mencari alternatif mata pencarian lain, seperti memulung sampah, yang justru memperkuat stigma negatif terhadap mereka.
Di Air Mas, Batam, Orang Laut yang sudah menetap masih mendapatkan diskriminasi di lingkungan pendidikan yang menyebabkan angka partisipasi sekolah rendah. Anak-anak mereka sering dirundung oleh kelompok dominan.
Stigma negatif sebagai kelompok kelas dua masih kuat terhadap mereka. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan jual beli hasil tangkap, harga ikan yang mereka tangkap menggunakan alat tangkap tradisional seperti tombak (Serampang) relatif lebih murah. Masyarakat tempatan masih mengasosiasikan ikan yang didapat dari Serampang berelasi dengan ilmu hitam Orang Laut.
Begitu pula, tak adanya pengakuan hukum membuat masyarakat nomad laut sulit memperjuangkan hak-hak mereka dalam pengambilan keputusan, sehingga memperkuat posisi mereka sebagai kelompok terpinggirkan.
Gamang di laut, tumbang di darat
Kata “gamang di laut” menggambarkan ketidakpastian dan kesulitan yang dihadapi masyarakat nomad laut dalam mempertahankan cara hidup tradisional dan teritori mereka. Sementara itu, “tumbang di darat” menyiratkan tekanan yang semakin besar bagi mereka untuk meninggalkan laut dan beradaptasi dengan kehidupan di daratan, yang sering kali tidak sesuai dengan identitas dan keahlian mereka serta keterbatasan akses terhadap sumber daya di darat.
Marginalisasi yang dialami oleh masyarakat nomad laut di Indonesia adalah masalah kompleks yang memerlukan solusi yang komprehensif lintas pemangku kepentingan. Akar permasalahan ini terletak pada ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, hilangnya sistem tata kelola sumber daya pesisir berbasis masyarakat, dan lemahnya pengakuan hak-hak adat masyarakat nomad laut.
Untuk itu, diperlukan pendekatan yang holistik dan partisipatif, yang mencakup pengakuan hak-hak adat, peningkatan partisipasi, dan penegakan hukum yang adil dalam pembangunan.
Dukungan gerakan masyarakat sipil harus diperkuat. Saat ini baru tumbuh gerakan Sea Nomads Contact Group (SNCG) yang menghubungkan komunitas nomad laut dengan akademisi dan aktivis di Asia Tenggara. Gerakan seperti ini harus diperluas hingga menjadi bagian dari gerakan masyarakat adat di Indonesia dan Asia Tenggara.
Masyarakat nomad laut mungkin tidak punya tanah seperti masyarakat adat lainnya, tetapi mereka telah hidup turun-temurun menjaga laut. Hilangnya kebudayaan nomad laut, akibat pembangunan eksploitatif dan cacat kebijakan, berkonsekuensi pada hilangnya kekayaan maritim dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya laut kita.
Penulis: Wengky Ariando, Postdoctoral research fellow, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies; Dedi Supriadi Adhuri, Peneliti pada Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesian Institute of Sciences (LIPI), dan Henry Thomas Simarmata, jurist
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.