
EDISI.CO, BATAM— Dalam rangka memperingati Hari Mangrove Sedunia, NGO Akar Bhumi Indonesia (ABI) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam menyelenggarakan diskusi publik. Diskusi bertajuk “Hilangnya benteng terakhir pesisir Batam” ini dilaksanakan di Shelter ABI di Pancur Pelabuhan, Kecamatan Sei Beduk, Batam pada Jumat, 25 Juli 2025 malam.
Acara yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat ini, dinilai menjadi momentum penting dalam membangun kesadaran dan kolaborasi lintas sektor untuk menjaga hutan mangrove yang semakin terancam.
Ketua Akar Bhumi Indonesia, Soni Rianto, mengatakan diskusi ini merupakan kali pertama dilakukan di kawasan Hutan Lindung Mangrove di Sei Beduk. Ia menegaskan penyelamatan mangrove adalah tanggung jawab bersama, dan forum ini adalah langkah awal untuk memperkuat upaya pelestarian.
“Hutan lindung mangrove Piayu adalah salah satu gugusan terbesar yang tersisa di Batam,” ujar Son.
Ketua AJI Batam, Yogi Eka Sahputra, mengatakan diskusi seperti ini sangat jarang dilakukan di Batam. Ia bersyukur diskusi yang berawal dari inisiatif dan komunikasi dengan Akar Bhumi Indonesia menyikapi kerusakan mangrove akibat reklamasi dan aktivitas produksi arang bakau ini akhirnya dapat terlaksana.
“Kami ingin merespons terbitnya PP 27 tentang penyelamatan mangrove, dan setelah melihat kondisi di lapangan, kami sadar bahwa Hari Mangrove Sedunia adalah momen tepat untuk menyuarakan hal ini,” jelasnya.
Yogi juga menekankan bahwa AJI Batam sebagai organisasi profesi jurnalis berkomitmen memperbaiki kualitas peliputan isu lingkungan. Ia berharap forum diskusi seperti ini dapat terus berlanjut dan diinisiasi oleh berbagai pihak, seperti mahasiswa dan HNSI yang juga hadir dalam acara itu.
“Isu lingkungan di Batam sangat kompleks, dari reklamasi, kerusakan laut, hingga nasib nelayan. Semua perlu didiskusikan secara terbuka,” ujarnya.
Diskusi kali ini mendatangkan beberapa narasumber dari pemerintahan, selain Akar Bhumi Indonesia sebagai pembicara utama. Dalam paparannya, Kepala Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan, BPDAS Sei Jang Duriangkang, Bagus Dwi Rahmanto, menyampaikan bahwa pihaknya tengah menyusun strategi rehabilitasi hutan mangrove.
Ia menekankan bahwa ekosistem mangrove Kepri sangat vital karena menyimpan karbon empat sampai lima kali lebih banyak dibanding hutan daratan.
“Tantangan terbesar kami adalah anggaran yang terbatas, tekanan pembangunan, dan lemahnya pengawasan,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa kerusakan mangrove dapat menyebabkan intrusi air laut apalagi wilayah Kepri ini tidak memiliki suplai lumpur dari sungai besar untuk meningkatkan kerapatan hutan mangrove.
Baca juga: Warga Rempang Tolak Kampung Mereka disebut Hutan
“Batam sebagai kota yang berkembang pesat harus menjaga sisa mangrove sebagai paru-paru terakhir,” tegasnya.
Bagus juga menyinggung potensi pergeseran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) jika daratan tergerus abrasi akibat rusaknya mangrove.
Koordinator Polisi Kehutanan KPHL Unit II Batam, Karmawan, menyampaikan bahwa peran jurnalis dan aktivis sangat penting dalam menjaga mangrove.
“Kami merasa tersentuh melihat keterlibatan berbagai pihak dalam diskusi ini,” ujarnya.
Ia menyebutkan bahwa kawasan mangrove Batam, yang luasnya sekitar 17 ribu hektar, tersebar dalam berbagai status lahan, namun pengawasan lemah di kawasan Areal Peruntukan Lain (APL). Ia mengungkapkan bahwa Batam kini menghadapi tantangan seperti banjir rob, kenaikan air laut yang mengakibatkan banjir, semuanya berkaitan dengan kerusakan mangrove.
“Kami tidak punya kewenangan menindak di luar kawasan hutan. Ini tantangan besar,” katanya.
Ia juga menyebut ancaman pembalakan liar dan penyelundupan kayu mangrove masih terjadi.
“Kayu 5 cm pun sekarang sudah diambil karena regulasi dan pembinaan lemah,” ujarnya prihatin.
Karmawan berharap kolaborasi lebih erat antar lembaga, seperti dengan Bakamla, PSDKP, dan Gakkum KLHK, terus dilakukan untuk penyelamatan mangrove.
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, menjelaskan bahwa peringatan Hari Mangrove Sedunia pertama kali diprakarsai oleh Ekuador, dan pada tahun 2015 disahkan secara resmi oleh UNESCO. Ia menyoroti bahwa pemilihan UNESCO sebagai lembaga pengampu—bukan UNEP atau lembaga lingkungan lainnya—karena mangrove memiliki nilai yang melampaui aspek ekonomi, sosial, atau geopolitik.
“UNESCO melihat mangrove dari sudut pandang yang lebih dalam, termasuk nilai metafisika, karena di ekosistem inilah seseorang bisa memperdalam kejernihan pikiran dan perasaan,” ujar Hendrik.
Ia mengkritik lemahnya tata kelola kawasan, menyebut hanya 404 hektare mangrove berada di luar kawasan hutan berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Batam tahun 2.000.
Pada prosesnya, Akar Bhumi Indonesia, terus melakukan advokasi dan upaya perlindungan kawasan Mangrove. ABI telah melaporkan 30 kasus kehutanan dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Keluarga Warga Rempang Korban Penggusuran Alami Kekerasan, Tim Advokasi Kecam BP Batam
“Kami tidak hanya menanam, tapi juga mengorganisasi masyarakat menjaga klaster mangrove terbesar di Batam,” tegasnya.
Ia mengungkap praktik ilegal arang bakau masih berlangsung dan menyerukan revisi regulasi Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Dalam sesi tanya jawab, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri, Distrawandi, menyatakan bahwa mangrove adalah roh dari kehidupan nelayan. Ia mengkritik paradoks kebijakan pembangunan di Batam, di mana masyarakat diajak menanam mangrove, namun kemudian kawasan itu ditimbun.
Wandi menyampaikan kekecewaan dengan absennya perwakilan BP Batam dalam acara diskusi tersebut.
“Apakah BP Batam ini diciptakan menjadi robot pembangunan yang menghilangkan pesisir?.”
Distrawandi menyebut banyak persoalan belum selesai, seperti abrasi pesisir, tata ruang yang tidak jelas, hingga lemahnya pengawasan pelanggaran.
“Sering kali investor langgar aturan, bayar denda, selesai. Kami di pesisir hanya bisa mengelus dada,” katanya.
Ia mengajak semua pihak untuk berjuang menjaga ruang hidup nelayan.
Selain diskusi rangkaian kegiatan ini, AJI bersama Akar Bhumi Indonesia juga menyediakan beasiswa liputan atau fellowship untuk dua jurnalis terpilih. Jurnalis diminta untuk mendaftarkan proposal liputan isu lingkungan di Batam, setelah itu akan mendapatkan total beasiswa liputan Rp2 Juta.